Jumat, 06 Juni 2014

Some (cute) stuff I found on the internet

dont you think it was cutee ?

looks so comfy *0* and fluffyy
I wish I had her dress .____.  and her body.

Her legs *0*


 Some cool stuff from Nike B)
I was hoping to have this sneakers so badd
beautiful cape dress :D from heartstrings
And the last one is a beautiful contact lenses wore by Michellephan

So, what do you think ? Leave a comment below ! XOXO

Rabu, 06 November 2013

Who are you ? **First Story**

Gadis kecil itu menghela nafas panjang, sesekali ia mengetuk - ngetukkan jarinya di atas meja. Dalam hati ia berpikir, berapa lama lagi ia harus menunggu temannya yang tak kunjung datang. Sunny tahu kebiasaan temannya ini, tidak pernah mengerti arti sebuah jam tangan. Sudah banyak orang yang dirugikan akibat kebiasaan buruknya itu. Sunny berusaha mencari kesibukan apapun, sampai ia menangkap sudut yang familier dari sudut matanya, ia menegadah, menatap sosok itu, lalu sontak berteriak "Lukas, disini !"

Tunggu, apa kau baru menyebut Lukas ? Apakah tidak aneh jika seorang perempuan mempunyai sahabat dekat seorang lelaki ? Semua orang pasti berpikir begitu. Setidaknya itu yang ia dengar dari orang - orang yang mengetahui persahabatannya dengan Lukas.
Mengapa perempuan mempunyai sahabat lelaki dicap aneh ? Sunny selalu mempertanyakan hal itu. Sunny yakin, bukan hanya dai di muka bumi ini yang mempunyai sahabat lawan jenis. Lalu apa yang membuat orang - orang begitu sinis padanya saat ia mengatakan Lukas adalah sahabatnya ? Satu - satunya jawaban yang dipikirkan Sunny adalah karena Lukas mempunyai kualitas wajah di atas rata - rata. Ia bisa dikatakan yakin dengan anggapannya ini karena sudah banyak wanita yang "memanfaatkannya" untuk mendapatkan Lukas. Yah, resiko punya temen cakep.

"Lo nunggu lama ?"
"Ga, bentar doang. Cuma 1 setengah jam." Sunny menatap Lukas dengan mata disipitkan, "Lo ngapain aja sih di rumah ?"
Lukas tersenyum,"Jadi gini, jam 11 sebenernya gua udah sampe rumah. Tinggal siap - siap terus berangkat."
"Terus ?"
"Gua ngerjain tugas lo dulu." Lukas menatapnya sambil tersenyum. Senyum yang dapat meluluhkan wanita selain dirinya.
Lukas menyodorkan beberapa lembar kertas, dan Sunny ragu sebentar sebelum akhirnya menerima kertas - kertas itu.
"Lo ... ngerjain ini semua ?" Sunny membolak - balik isi halaman. Sorot matanya memancarkan sedikit kekaguman, ia tidak menyangka Lukas ternyata lumayan ahli dalam bidang travelling.
"Kalo bukan gue siapa lagi ?" Lukas tersenyum penuh kebanggaan.
"Lukk" Sunny menatap sahabatnya dengan tatapan memelas. "Lo emang sahabat terbaik yang gue punyai."
Mereka berdua tertawa bersama tanpa kecanggungan diikuti dengan Lukas yang membangga - banggakan dirinya. Sunny terbahak melihat kenarsisan sahabatnya itu. Ia yakin jika fans Lukas melihat Lukas seperti ini di kampus, mereka mungkin akan berpikir ulang untuk menjadikan Lukas idolanya. Hmm, atau tidak.

"By the way, kapan lo berangkat ke New York ?" Tanya Lukas saat Sunny menyeruput Caramel Macchiato-nya.
"Lusa gue berangkat, doain gua bisa lulus ujiannya ya."
"Gua doain lo pulang bawa oleh - oleh yang banyak. Amin." Lukas menutup matanya seakan - akan ia sedang berdoa. Sunny tertawa kecil.
"Oh iya, gue hampir lupa." Sunny menyadari sesuatu dan ia mengobok - obok isi tasnya dengan giat, kemudian ia mengeluarkan Flashdisk kerokeropi-nya, "Balasan karena lo udah ngebantu tugas gue"
"Itu yang gua suka dari lo " Jawab Lukas sembari menerima Flashdisk tersebut.



Minggu, 01 Juli 2012

Bouillabaisse part 3 :)

Xara menelusuri jalan pulang dengan kaki dientak – entakan. Perasaannya tak menentu. Ia mulai berpikir hal – hal yang tidak biasa. Oh my God… Xara melirik kotak bekal bekas Bouillabaisse tadi yang dibawanya pulang. Jantungnya berdebar kencang saat ini dan ada perasaan gelisah disana. Ia menggigit bibirnya, dan sesekali memukul – mukul pipinya dengan satu tangan. “Bodoh, sadarlah.” Gumamnya.

Ia baru hendak memukuli wajahnya lagi, ketika melihat seberkas sinar datang dari lampu dim mobil Lexus hitam tipe RX di seberang jalan. Ia menyipitkan matanya sesaat, dan melihat sekelebat pria keluar dari mobil itu. Ia menyipitkan matanya lagi, menimbang – nimbang siapa pria itu. Sejujurnya, dari yang ia lihat sepintas tadi, ia seperti mengenal laki – laki itu. Ia menuruti nalurinya,  kakinya melangkah mengendap – endap mengikuti pria itu.  Pria itu terhenti di suatu lapangan parkir luas didepan sebuah pabrik yang sudah tak terpakai. Xara berada di kejauhan mengamati lelaki itu berbincang – bincang dengan seorang wanita. Ia bersembunyi dibalik tumpukan kardus bekas yang jaraknya kira – kira 10 meter dari kedua orang itu. Dan seperti yang ia kira, ia tidak mendengar apa – apa dengan jarak 10 meter. Tetapi ia juga tidak bisa mendekat. Selain tumpukan kardus itu, tidak ada tempat yang bisa menyembunyikan dirinya. Hanya ada tanah lapang didepannya.

“Siaal,” umpatnya sambil harap-harap-cemas kedua atau setidaknya salah satu dari orang itu berbicara lebih keras lagi. Ia benar – benar tidak bisa mendengar apa – apa. 

Oh, tidak, Xara tidak akan pulang dengan tangan kosong. “Kalau aku tidak bisa mendengar, setidaknya aku bisa melihat.”batin Xara. Ia menunggu saat yang tepat, sebelum akhirnya mulai melongokkan kepalanya perlahan – lahan. Tangannya berpegangan erat pada sisi ujung kardus, dan ia mulai menyembulkan kepalanya sedikit demi sedikit. Sosok pertama yang ia lihat adalah seorang perempuan. Badannya kurus, tinggi, dan sebagian wajahnya ditutupi oleh syal dan kacamata hitam. Sedangkan yang lelaki … Hmm … Xara tidak tahu. Lelaki itu membelakanginya sehingga yang ia bisa lihat hanya punggung dan tingginya saja. Bahkan rambutnya ditutupi oleh topi wol. Setelah mengamati begitu lama, Xara menyadari kalau tadi perkiraannya tidak salah. Postur tubuh lelaki ini mirip dengan Sebastien. Bahkan bisa dibilang sama. Sebastien memiliki bahu yang lebar dan tinggi kira – kira 6 kaki, yang ia bisa lihat dari lelaki berjaket itu. Kalau memang benar dia Sebastien, apa yang dia lakukan malam – malam begini di tempat seperti ini ? Xara mencoba menebak – nebak akan apa yang biasa dilakukan seorang lelaki pukul setengah sepuluh malam didepan pabrik kosong. Tetapi tidak ada jawaban positif yang dapat menghilangkan dugaan kuatnya tentang transaksi gelap—dan yang paling disangkalnya—mafia. Xara menertawakan dirinya sendiri. Tidak mungkin kan Sebastien berkomplot dengan mafia ? Dan lagi belum tentu juga laki – laki itu adalah Sebastien … Oh, oh ! Perempuan itu membuka kacamata hitamnya. Xara memiringkan kepalanya sedikit untuk bisa melihat lebih jelas. Perempuan itu menangis. Matanya biru, rambutnya ikal berwarna oranye cerah—yang bisa ia lihat dari poninya, hidungnya mancung dan kulitnya pucat. Terlintas sebuah nama ketika Xara memikirkan semua kombinasi itu.

Eliz. 

Tetapi bedanya, Eliz mempunyai mata Hazel, dan ia cukup yakin sahabatnya itu tidak memakai contact lens. Xara menghela nafas panjang. Berbagai dugaan berputar – putar dalam otaknya. Semuanya menjadi rumit sekarang. Ia melongokkan kepalanya lagi menatap kedua manusia itu. Mereka seperti membicarakan sesuatu. Atau lebih tepatnya mendebatkan  sesuatu. Sampai suatu ketika, perempuan itu melingkarkan tangannya ke pundak lelaki itu. Kalau lelaki itu memang Sebastien… Kalau benar dia Sebastien… Xara terlonjak dari kegiatan mata – matanya dan bersembunyi di balik kardus – kardus bewarna coklat. Nafasnya sesak memikirkan kilas balik kejadian tadi. Ia tidak berani berharap ….

 
Callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com


Burung – burung mengerubunginya dan mematuk kepalanya sesekali di sela – sela kicauannya. Namun gadis itu bergeming. Ia tetap menyeret kakinya putus asa, bergesekan dengan aspal jalan. Tubuhnya gontai seakan tidak ada tulang yang menyangga badannya. Sebastien mengamati gadis itu lekat – lekat. Terdapat kantung hitam di sekitar matanya. Apa dia tidak tidur ? Sebastien teringat akan pertandingan sepakbola kemarin malam. Tidak, tidak. Xara sepertinya bukan tipe wanita yang menggemari sepakbola atau semacamnya. Sebastien membenarkan letak topinya dan kembali mengekor dibelakang gadis itu. Ia mengendap – endap, beralih dari tiang lampu satu ke tiang lampu lainnya. Ia tidak memerdulikan orang – orang disekitarnya yang mulai menatapnya aneh dan sebagian lagi menatapnya seakan – akan ia orang gila. Sorot matanya berubah ketika ia melihat Xara akan menyeberang. Gadis itu menatap lurus ke depan tanpa menunjukkan tanda – tanda akan menoleh barang sedikitpun. Hal itu tentu saja bukan menjadi masalah bagi Sebastien kalau saja….  

Mobil sedan itu tidak sedang melaju kencang ke arahnya.

Matanya membelalak melihat rentetan kejadian itu. Bagaimana mobil itu menabraknya, bagaimana gadis itu terjatuh dan kepalanya membentur tanah, bagaimana orang – orang disekitarnya sontak berteriak dan mengerubutinya…
Semua terjadi begitu jelas di depan Sebastien. Terlalu jelas mungkin. Ia mematung sesaat sebelum seluruh sarafnya menghentak otaknya untuk berbuat sesuatu.

“Xara!!” Sebastien berlari sekuat tenaga menghampiri gadis itu. Jantungnya berdetak tak keruan bahkan sebelum ia melangkah. Ia membelah kerumunan orang yang menjawab sebagian keraguannya tentang ‘apa dia baik – baik saja’.
Sebastien menatap nanar sosok wanita bersyal hitam yang tergeletak di aspal jalan. Darah mengucur dari hidung dan mulutnya.

Tidak mungkin.

 
Callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com


Xara membuka matanya pelan – pelan. Hal pertama yang dilihatnya adalah kepala teman – temannya yang mengelilinginya, membentuk sebuah lingkaran dengan . “Kau tidak apa – apa, Xara ?”Tanya Rosalie, mewakili pertanyaan semua orang. Xara menarik pantatnya, dan terduduk di kursi. Sambil menggosok – gosok matanya—seakan ia baru bangun tidur—ia bergumam, “Kurasa begitu.” 

Seketika semua orang yang ada di ruangan itu menghela nafas lega. “Tapi, disini.” Xara memegang bagian kanan atas perutnya, “Seperti barusan ada yang memukuliku.” Xara meringgis kaku. “Kau sudah tidur selama 3 hari, kau tahu ? Lebih baik kau ceritakan pada kami bagaimana kau bisa menjadi seperti ini.” Emile—salah satu teman Xara yang diketahuinya paling tidak sabaran—menatap selang infus yang melekat di tempurung tangannya. Xara memiringkan kepalanya menghadap sahabatnya itu, “Tahan kicauanmu Emile. Kau mulai membuat kami takut.”katanya. “Aku juga tidak begitu tahu bagaimana ini bisa terjadi. Saat itu aku sedang menyeberang jalan, dan hal terakhir yang kulihat adalah tampak depan mobil sedan, dan bumi seolah berputar. Setelah itu aku tidak ingat apa – apa lagi.” Jelas Xara. 

“Bumi memang berputar, bodoh.” Sahut Pierre, mantan adik kelasnya dahulu yang sekarang sudah menjadi chef di tempatnya bekerja. “Hei, kau, bocah ingusan! Seperti itu caramu bicara kepada seniormu yang baru mengalami kecelakaan ?” Xara meninggikan suaranya beberapa oktaf. Ia selalu merindukan saat – saat ini. Saat dimana dia bisa melupakan semua masalah yang ada, bercanda tawa dengan teman – temannya ,dan menjadi dirinya sendiri. Sesaat Xara bisa melupakan orang itu. Lelaki yang merenggut sebagian besar alasannya untuk tertawa. “Hé ! Kau bukan kakak kelas ataupun seniorku lagi, bodoh. Kedudukan kita sama sekarang. Tunggu, tunggu … mungkin aku lebih tinggi darimu. Bagaimanapun juga aku adalah seorang chef dan kau adalah seorang waitress, ya’kan ?  Goda Pierre sambil menyunggingkan senyum kebanggaannya. Xara mendengus mendengar kalimat terakhir Pierre. Anak itu selalu saja menganggap pekerjaan pelayan lebih rendah daripada koki. Ia baru akan membuka mulut ketika Mabel dan yang lainnya menatapnya penuh arti. “Apa ?” Ia menatap temannya satu persatu, “Kenapa kalian menatapku seperti itu ?” Tanya Xara. “Kalau lidah tajam Pierre bisa membuatmu kembali seperti ini, semestinya dari dulu aku tidak melaranginya berbicara denganmu. Yah, kau tahu sendiri, Pierre tidak pernah mengucapkan sesuatu yang lembut.” Sahut Cecile. Xara tidak tahu ia harus menjawab apa, jadi ia hanya mengangguk – angguk tanda mengerti.

Tiba – tiba ia teringat seseorang. Ia mengamati satu persatu teman – temannya yang ada di situ. Tidak ada. Orang itu tidak ada. Anne yang menyadari gerak geriknya, bertanya padanya. Namun sepertinya ia salah mengartikan subyek yang dicari Xara,“Kau mencari Eliz ? Kurasa dia akan datang sebentar lagi. Dia bilang dia akan menyusul kami kalau shiftnya sudah selesai.” Xara manggut – manggut mendengar penjelasan Anne. “Sebastien,” Xara menggerak – gerakkan tangannya salah tingkah, “Dia kemari ?” 

Anne tidak dapat menahan senyum melihat tingkah laku Xara saat menanyakan pria itu, “Ooh, jadi bukan Eliz.” Xara mendelik padanya. “Tadi dia bilang padaku dia mau mengurus ke kantor polisi soal pengemudi yang menabrakmu. Aku tidak tahu kapan dia akan datang.” Ucap Anne sambil menahan senyum.

Tepat setelah itu, pintu kamar Xara terbuka cepat. Xara dan teman – temannya spontan menoleh ke arah pintu yang terbuka, menampilkan sosok lelaki berjaket abu – abu, “Whoa, kau sudah sadar ?” 

Xara mengangguk cepat, “Ya, begitulah.”Ia memutar otaknya untuk menanyakan sesuatu, “Bagaimana urusanmu di kantor polisi ? Kau berhasil menangkap pelakunya ?” Tanya Xara. “Kau harus berterimakasih padanya, bodoh. Dia yang sudah menggendongmu kemari.” Tegur Pierre, membuat mata Xara melebar. Xara menatap Sebastien yang tampak terkejut, tidak tahu harus menjawab apa. “Kalau kau menganggap sikapku tidak sopan, aku minta maaf.” Xara buru – buru menggeleng, “Sama sekali tidak. Justru aku yang harusnya minta maaf karena sudah merepotkanmu… Dan, terimakasih sudah me-menggen..membawaku kemari.” Ucapnya terbata – bata. Dalam hati, ia mensyukuri progam diet yang dilakukannya beberapa bulan terakhir. Setidaknya, ia tidak terlalu berat saat Sebastien ‘membawa’nya kesini. Suasana dalam ruangan itu mendadak kaku. Xara tidak tahu apa yang harus ia katakan setelah kejadian itu,dan begitu pula Sebastien. 

“Dingin sekali disini.”Sindir Michelle. 

“Dingin darima..” “Ayo, kita keluar.” Michelle menyela kalimat Emile dan menyambar tangan sahabat – sahabatnya dan menarik mereka keluar. Ia terhenti sebentar di perbatasan pintu, mengedipkan sebelah mata hijau yang selalu dikagumi Xara. Xara membelalak melihat kedipan sahabatnya itu, kemudian menoleh kearah Sebastien, memastikan lelaki itu tidak melihat kerjapan penuh makna tadi. Sebastien sendiri tampak sibuk dengan iPhonenya yang berdering 3 detik yang lalu. Xara memperhatikan raut wajah Sebastien lama. Lelaki itu memiliki sepasang mata almond, dengan alis tebal yang berjarak 1 senti dari matanya. Hidungnya mancung dan ujung hidungnya tinggi. Ia memiliki hampir semua ciri pria idaman Xara. Sayangnya, Sebastien tidak memiliki jenggot. Xara selalu mengidam – idamkan lelaki berjenggot tiga hari yang menurutnya sangat maskulin.

“Maaf,” Ucap Sebastien sambil memasukan ponselnya ke saku. Xara tersadar dari lamunannya dan buru – buru mengalihkan pandangan saat matanya bertemu dengan mata Sebastien, “Tidak apa – apa.” Jawabnya singkat. “Umm ..” Sebastien mengintip bagian bawah ranjang rumah sakit Xara, “Kau sudah makan ?” Xara menggelengkan kepalanya, “Mungkin sebentar lagi petugas rumah sakit akan mengantar makananku.” Ia melirik jam dinding di atas pintu. 11.54. “Biasanya perawat mengantar makananku jam 12 siang” jelasnya.

“Percayalah, kau tidak akan suka makanan di rumah sakit ini.”Sebastien menegok kanan kirinya, memastikan tidak ada staff rumah sakit ataupun perawat disekelilingnya. Ia kemudian merogoh kotak bento di bawah ranjang Xara dan membukanya, “Aku harap kau suka.”

Xara menatap kagum bola – bola nasi yang dibungkus dengan selembar nori dengan begitu rapi, “Masakan jepang ? Tidak biasanya.” Ujarnya heran. Xara menjumput telur dadar dan memasukannya ke mulutnya, ia mengunyahnya lambat seakan menyadari sesuatu dan bergumam, “Terbuat dari apa sih tanganmu ?” Ia menarik tangan Sebastien dan membolak – baliknya seperti membolak – balik pakaian. “Memasak kan bukan hanya pakai tangan,” kata Sebastien, “Mungkin kau juga mau membolak – balik lidahku ?”

Xara tertawa begitu mendengar candaan Sebastien, “Tidak akan.” Xara menyilangkan tangannya di depan dada dan mengucapkan kata ‘NO WAY’ panjang tanpa suara.

“Sebenarnya kenapa kau memilih bekerja di L’ambrosie ? Kenapa tidak di ‘Gourmet King’ atau restoran – restoran bintang lima yang lain ?” Tanya Xara sambil menyuapkan salmon ke dalam mulutnya.

“Kenapa ? Kau tidak suka aku disini ?” Tanya Sebastien.

“Bu-bukan begitu.”Jawabnya cepat. Terlalu cepat sampai – sampai ia tersedak karena salmon yang barusan ditelannya masih menyangkut di tenggorokan. Ia mengangkat telapak tangannya—mengisyaratkan Sebastien untuk menunggu— dan segera meneguk gelas air di hadapannya.“Maksudku, dengan kemampuan seperti itu, kau pasti dengan mudah diterima disana. Bayarannya juga pasti lebih besar.” Kata Xara setelah itu, “Kau sendiri tahu kan, L’ambrosie hanya restoran bintang empat. Yah, walaupun lumayan terkenal tapi kan…”

“Aku bekerja disini karena ada seseorang.”sela Sebastien. Tatapannya menerawang. “Kukira aku sudah bisa lepas darinya… tapi ternyata belum.” Ia memaksakan dirinya untuk tertawa. Tetapi itu lebih terdengar seperti ringikan di telinga Xara.

“Kalau boleh tahu, sia…” “Jam 1 ! Maaf Xara, aku harus pergi. Jaga kesehatan. Perhatikan jalan kalau kau mau menyeberang! Aku pergi dulu. Adieu !bye” Sebastien mengucapkannya sambil berjalan mundur dan diakhiri dengan bunyi pintu tertutup.

Xara benar – benar terlihat seperti orang bodoh sekarang. Ia terduduk sambil mengangkat tangannya dengan mulut yang masih terbuka lebar. Ia menarik nafas dalam – dalam dan berusaha untuk tidak terlihat peduli dengan apa yang terjadi barusan.
Xara tahu Sebastien Michel berusaha mengelak darinya.


“Xara, kau sudah bangun ?”
Xara menoleh kearah pintu, ia tahu siapa pemilik suara ini. Suara bernada rendah dan lembut, siapa lagi kalau bukan …

“Eliz ! Kemana saja kau selama ini !?” Sambut Xara sambil tersenyum lebar. Senyumnya tergantikan begitu ia melihat sahabatnya yang bersusah payah membuka pintu dengan punggungnya. Ia bermaksud membantunya, kalau saja kondisinya tidak selemah ini. 

“Aku bawakan kau buah – buahan.” Kata Eliz setelah ia berhasil masuk. Ia menaruh sekeranjang penuh buah di meja sebelah tempat tidur Xara. “Kira – kira sedikit kalau kau mau bawa sesuatu.” Gerutu Xara begitu melihat meja kecil itu hampir oleng begitu Eliz menapakkan keranjangnya. “Maaf, maaf,” sahut Eliz sambil tertawa bersalah. Xara menatap Eliz sejenak dan ada sesuatu yang tidak biasanya dari gadis itu. “Matamu ? Biru ? Kau pakai contact lens ?” Tangannya menunjuk kearah mata Eliz.
Eliz terkekeh pelan, “Biru adalah warna mata asliku. Kau kaget, ya ?”

Xara merasa ada bola beton meninju hatinya, tepat di ulu hatinya. Bagaimana mungkin…

“Selama ini aku pakai soft lens warna Hazel, kau tidak menyadarinya ?” Lanjut Eliz lagi. Ia sama sekali tidak menyadari perubahan ekspresi Xara.

Xara sendiri terdiam sambil menggenggam selimutnya erat – erat. Ia tidak bisa tersenyum. Tetapi juga tidak bisa menangis .Eliz Dubois sedang apa dihadapannya. Dinginnya hawa rumah sakit kini mulai meresap dalam kulitnya. Pikirannya dihiasi tanda tanya. Semua ini karena ia menuruti rasa keingintahuannya membuntuti orang itu.

Semua ini karena perasaannya.

to be continued ...
Callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com




 Thanks for reading :)
sori buat yang nunggunya kelamaan m.____.m
Comment please :) means a lot for me :D



Senin, 28 Mei 2012

When sun goes down



Ini adalah sebuah kisah, kisah sederhana dari sebuah percintaan luar biasa antara Eve dan Adam. Dua anak manusia biasa, yang diikat erat dalam suatu tali asmara. Kisah cinta mereka dengan mudah dimengerti semua orang. Meski tanpa pelukan, rayuan, ataupun ciuman mesra, sepasang mata yang menatap dengan mudah menggambarkan semuanya. Semudah itu. Sesederhana itu.


Sepasang sejoli itu sedang berjalan-jalan menyusuri ladang seperti biasanya. Adam mengayuh, dan Eve di belakang memegang bahunya kuat - kuat. Sesekali ia mengangkat sebelah tangannya—merapikan rambutnya yang diterpa angin. Mereka terhenti di sebuah ladang rumput yang cukup luas dan memandangi langit senja yang memerah.
Hening merayapi keduanya. Tetapi beginilah mereka—menghargai setiap sunyi yang ada, dan menggunakannya untuk menyalurkan perasaan pribadi masing-masing.
Sampai ..


"Adam, aku mau bicara sesuatu padamu,"


"Ada apa, Eve ? Kau sedang ada masalah ?"


"Tidak, tidak. Aku minta maaf sebelumnya, tadi pagi ada sedikit kebocoran di rumahku, kau mungkin tidak bisa menghubungiku untuk sementara ini. Dan besok, aku diajak paman Frank untuk mengunjungi rumah barunya. Mungkin aku mungkin tidak ada di rumah seharian penuh." Eve menatap kekasihnya itu dan tersenyum lembut.


"Jadi besok … kita tidak bisa bertemu ?"


"Maafkan aku, tapi kau tidak usah khawatir, lusa Paman Sam datang—ia sudah berjanji untuk memperbaiki jaringan teleponku yang rusak. Aku juga hanya akan menginap satu malam di rumah paman Frank."


"Itu berarti aku akan bertemu denganmu lusa ?"


" Aku akan menunggumu di gubuk." Jawab Eve.


Adam menatap Eve dengan senyuman terukir di wajahnya. Senyum yang tak bisa ia sembunyikan ketika ia sedang bersama gadis itu. Senyum yang membawa sejuta—oh, tidak— seribu juta perasaannya.


"Adam, apakah kau mencintaiku ?"


Adam terkekeh pelan, "Kau meragukan itu ?"


Eve tertunduk dan menggeleng pelan, "Tidak, tidak. Aku hanya ingin kau berkata, 'aku mencintaimu, Eve'" Eve berdiri dari rerumputan tempat ia bersimpuh dan menatap Adam lekat - lekat.


"Aku mencintaimu, Eve." Adam membalas tatapan Eve dan menatap gadis itu dengan senyuman, "Dan seumur hidupku, aku akan terus mencintaimu. Kau tidak boleh meragukan itu.” Lelaki itu menarik nafas singkat,"Ada apa denganmu hari ini, Eve ? Tidak biasanya kau begini."


Sejenak mereka saling berpandang-pandangan. Tanpa suara, tanpa kata, namun hati mereka saling berbicara. Bertanya – tanya antara satu dengan yang lainnya. Hembusan angin menyatukan keduanya, Adam memeluk tubuh mungil Eve yang menggigil kedinginan. Sampai kemudian Adam mencondongkan tubuhnya. Semakin dekat. Semakin dekat. Semakin dekat sampai kedua bibir mereka bertaut.


 
Callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com




Esok pun tiba, sesuai apa yang dikatakan Eve, mereka tidak akan bertemu hari ini. Adam tidak yakin apakah ia mampu melewati satu hari tanpa wanita itu. Ia meraih bingkai lukisan di pojok rumah kecilnya. Kanvas itu dipenuhi dengan wajah seorang gadis. Pipinya merona merah jambu, rambutnya yang terurai membias kecoklatan diterpa cahaya sore, matanya menyipit disambut mulutnya yang tersenyum lebar. Gadis itu … Eve. Sebenarnya, Adam tidak benar – benar melukis ini pada saat Eve sedang tersenyum . Ia hanya mengingat  bagaimana gadis itu menyipitkan matanya, bagaimana lesungnya merona kemerahan, bagaimana gadis itu tersenyum padanya.
 Adam meraih sebuah kanvas kosong disela–sela rak kayunya, ia menggigit satu kuasnya dan mulai melukis dengan kuas lain.




Seberkas cahaya memantul dari sela-sela tirai di wajah Adam. Ia terbangun dari lantai, dan mengamati lukisan yang kemarin dibuatnya. Masih ada ruang putih di pucuk kanan kanvas itu. Adam membetulkan posisi duduknya, dan menggores-goreskan warna di pucuk kanvas itu.
Aku harus selesai sebelum matahari terbenam, Adam berkata kepada dirinya sendiri. Sampai Eve datang.






Cahaya kemerahan menghiasi langit yang tadinya biru itu. Matahari terbingkai separuh dibalik e’awanan yang mulai menenggelamkan dirinya. Semburat warna jingga memancar sempurna— menyinari seorang lelaki yang sedang berlari melewati ladang gandum—dengan kanvas dan mawar putih terapit di lengannya. Adam mengabaikan peluh dan nyeri di kakinya, ia terus berlari melintasi tangkai-tangkai gandum yang menguning diterpa cahaya senja. Sebentar lagi, sedikit lagi … Adam berkata kepada dirinya sendiri. Langkahnya melambat begitu melihat sebuah gubuk tua beratap daun Rumbia, berdiri ditengah hamparan hijau sawah.  Eve, hanya itu yang ada dipikirannya. Ia melangkahkan kakinya secepat yang ia bisa, sembari mengatur nafasnya yang takberaturan. Senyum mengembang di wajahnya, membayangkan ia akan segera bertemu lagi dengan Eve. Ia tidak sabar melihat gadis itu. Senyumnya. Suaranya. Semuanya . Adam melongokkan kepalanya, menyingkap tirai kain lusuh tersebut. Tak satu orangpun tertangkap di pandangannya. Bukannya Eve berjanji akan menemuiku di sini ?  Ia memutar haluannya, hendak menuju rumah Eve, begitu ia melihat rupa Eyang Sumbi—wanita tua yang biasanya menemani Eve di gubuknya. Adam berlari-lari kecil menghampiri wanita tua renta itu.
“Eyang,” ucapnya lirih, “Eyang melihat Eve ?”
Eyang Sumbi mengerutkan keningnya, sudah bisa dipastikan, ia tak mendengar apa yang Adam ucapkan mengingat usianya sudah sesenja itu.
“Ee..vee” Adam mengeja dan memperkuat amplitudonya, “Eyang melihat dia ?”
“Ru..mah .. sakit.” Eyang Sumbi berbicara dengan tertatih-tatih. Rupanya eyang mengerti apa yang diucapkannya. Tapi, apa yang Eve lakukan di rumah sakit ? Tiba-tiba, secuil perasaan tidak enak menguasai hatinya.
“Makasih eyang ” Adam berlari menuju tempat yang disebutkan Eyang. Hanya ada satu rumah sakit di kota ini, Adam tahu harus melangkahkan kakinya kemana.
Ia terhenti di sebuah gedung putih, diselimuti pepohonan rindang di kiri-kanannya. Pikirannya semakin kalut, perasaannya semakin tidak enak. . Ia harus bertemu Eve, ia benar-benar harus bertemu dengan gadis itu sekarang.
Tep!
Adam merasa ada seseorang yang menepuk pundaknya. Ia menoleh dan melihat seorang wanita—mirip dengan Eve—memegang erat bahunya “ Kau mau bertemu Eve, bukan ?” Lea menarik lengan Adam, berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit. Adam membiarkan dirinya terdiam oleh berbagai kemungkinan yang berputar di otaknya. Lea melepaskan cengkeramannya begitu mereka berdua terhenti di depan sebuah pintu putih bertuliskan angka “207” dibagian tengahnya.
Oh tidak … perasaannya semakin tidak enak…
“Kau boleh masuk,” Lea mempersilakan kekasih adiknya itu sembari menatapnya cemas.
Adam memegang kenop kuning dingin itu, dan memutarnya. Ada suara berdecit yang semakin membuat merinding ulu hatinya. Ia mendongakkan kepalanya perlahan,  menangkap wajah seorang gadis yang sedang tertidur nyenyak dibalut selimut putih itu..

Lukisan itu terjatuh. 


Apa maksudnya ini ? Siapa dia ?
Adam berusaha melangkah dengan kakinya yang mendadak lumpuh.
Tidak, ia tidak bisa melangkah, ia bahkan belum berjalan sesenti pun.
Hening di ruangan itu meremas hatinya.  Seseorang, siapapun !  Siapa gadis itu !?  Jangan katakan… Jangan coba coba katakan …
Adam merasa seseorang menggenggam pundaknya, membimbingnya untuk maju. Walaupun kulitnya tidak bersentuhan langsung dengan telapak orang itu, ia merasakan dingin, dingin yang begitu menusuk menghujam pundaknya.
Ia terhenti tepat di samping ranjang itu. Keraguannya terjawab, pertanyaannya terjawab.


Gadis itu adalah Eve.


Adam hampir menjerit keras begitu melihat wajah wanita itu ada disana. Tertidur dengan lelap, tanpa beban, tanpa dosa, dan tanpa hembusan nafas.  Ya, memang Adam selalu menyukai wajah Eve yang polos, tanpa ada cela dimanapun. Tapi tidak untuk saat ini…
Adam mendudukkan kepalanya, tubuhnya bergetar hebat menahan tangis. Butiran-butiran air mata jatuh menghujani seprai putih bersih itu. Ia mencengkeram selimut biru laut itu dengan segenap kekuatannya, “EVE KAU HARUS BANGUN, EVE ! KAU MASIH INGAT JANJIMU PADAKU DULU !? KAU BILANG KAU TIDAK AKAN PERNAH MENINGGALKANKU ! KAU BILANG KAU AKAN TERUS DI SISIKU ! Tapi kenapa … sekarang  .. sekarang…” Adam tersungkur lemas, ia berbisik pelan dengan seluruh sisa tenaganya, “Kau harus bangun, Eve” 

                                                     ***


Lea menyodorkan  secarik kertas kearah Adam. Lelaki itu menatapnya panjang, baru menyambut kertas lusuh tersebut.  Perlahan, ia membuka kertas itu, ia mengerjapkan matanya beberapa kali, dan kemudian menyadari tulisan itu tulisan Eve.
Adam, jika kau membaca surat ini, itu berarti aku sudah tidak ada di dunia ini. Aku minta maaf untuk tidak memberitahumu tentang semua ini. Aku tidak tahu kapan dan bagaimana caranya untuk bisa memberitahumu.
Adam merasa air matanya mulai terbit, ia menghela nafas panjang, dan mulai melanjutkan membaca.
Kau tahu betapa takutnya aku jika aku telah menghancurkan senyum dan tawamu mengagumkan itu ? Aku rasa aku bisa mengutuk diriku seumur hidup jika aku telah melakukan hal itu.
Kau sudah melakukannya, Eve. Kau sudah melakukannya …
Yah, mungkin aku sudah menyakitimu kali ini. Dan aku mengaku, aku sudah berbohong padamu soal telepon rumahku yang rusak, soal paman Frank. Aku hanya tidak mau, kau melihatku di saat detik-detik ajalku. Maukah kau memaafkanku, Adam ?
“Lea,” Adam memalingkan wajahnya dar surat itu, menghadap Lea, “Pukul berapa Eve….pergi ?” Terlihat, Lea agak terkejut mendengar pertanyaan Adam, “Sesaat sebelum kau datang, sebenarnya. Tapi dari kemarin kondisinya sudah parah. Dokter bahkan belum bisa menyimpulkan penyakit apa yang dideritanya.”
Dan satu hal yang harus selalu kau ingat, Adam. Aku mencintaimu. Lebih dari hidupku sendiri. Kau tidak akan melihatku mati, Adam. Karena aku akan terus hidup selama kau mencintaiku. Di hatimu.
Adam menghembuskan nafas perlahan dari hidungnya, ia menutup mata sejenak, berusaha merasakan Eve yang hidup di hatinya.
Maukah kau menunggu, Adam ? Menunggu sampai saat itu tiba dan kita akan bersama lagi ? Aku tidak bisa pastikan itu kapan, namun satu yang bisa aku janjikan, aku akan terus menunggumu, Adam. Entah berapa tahun lamanya itu, aku akan tetap berada di sini, menunggumu bersama Bapa-ku disini.
Adam berlari menuju kamar rawat Eve, ia membuka—setengah membanting—pintu kamar tersebut dan berdiri di samping ranjang tempat Eve berbaring, menggenggam erat tangannya, “Aku tidak menyalahkanmu atas apapun juga, Eve. Sama sekali tidak. Dan terimakasih telah menungguku.”  Ia menatap gadis itu dengan mata berkaca-kaca, seolah seluruh emosi jiwanya tertumpah disana. “Aku akan selalu mencintaimu, Eve.  Selalu. Ingat itu.”
Adam mengamati gadis yang dicintainya itu untuk terakhir kalinya. Pandangannya terhenti begitu melihat seikat mawar putih tergenggam erat di dada gadis itu. Adam mengernyitkan dahinya, mawar ini …
“Eve tidak mau melepaskan mawar itu dari genggamannya sejak kemarin.”  Lea muncul dari balik pintu kamar, “Dia bilang, mawar itu darimu. Mawar yang kau berikan dari awal pertemuan kalian sampai terakhir kalian bertemu.” Adam memandang lekat-lekat bunga mawar putih itu, “Dia menyimpan semuanya ?” Lea mengangguk dan tersenyum tipis, “Dia bahkan mengancam akan membenciku jika aku membuangnya.”
Adam membelai rambut berwarna karamel itu untuk terakhir kalinya.  Ia dapat merasakan kelembutan di setiap helainya, seperti biasa. Wajahnya yang mungil, bola matanya yang bulat, semua itu takkan ia lupakan. Adam dapat merasakan air mata mulai membendung di pelupuknya.


Thanks God, you’ve given me such an beautiful angel


“Mama, mama.” Seorang bocah menarik-narik ujung rok ibunya. “Pria itu aneh sekali, bertahun-tahun aku melihatnya, ia selalu datang setiap hari dan itu selalu pukul 3 sore. Ia juga selalu meletakkan mawar putih di makam bibi, dan terkadang aku melihatnya bercakap-cakap dengan makam. Kau kenal dengannya, mama ? ” Tanya bocah itu, polos. Matanya tertuju pada makam tua berjarak beberapa meter di sebelahnya. Lea mengikuti arah pandangan buah hatinya, dan tersenyum mendapati lelaki itu bersimpuh sambil meletakkan bunga mawar putih di makam adiknya, “Dulu, bibimu adalah kekasih lelaki itu. Mereka berdua saling mencintai sampai akhirnya bibimu divonis suatu penyakit langka yang perlahan-lahan merenggut nyawanya.” Jawab Lea. “Kebersamaan mereka diakhiri dengan kematian bibimu, waktu itu kau belum lahir, jadi kau tidak tahu bagaimana keadaannya saat itu,” Lea menerangkan tanpa ditanya, “Lelaki itu berusaha terlihat tegar, meskipun pada awalnya ia menangis. Aku yakin, ia tidak mau terlihat lemah dihadapan Eve.” Lea mengakhiri penjelasannya.  Dave— bocah kecil itu— manggut – manggut tanda mengerti. “Dia … begitu mencintai bibi ya ?” Mereka memandang Adam yang mulai bercakap – cakap dengan batu nisan dihadapannya dengan senyum mengembang di wajah lelaki itu. “Iya,” Lea menggenggam tangan anaknya, “Sangat.”




Callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com






Thanks for reading :D
Di sela-sela pembuatan Bouillabaisse part 3, tiba - tiba muncul inspirasi buat cerita ini . Dan ini pertama kalinya aku nulis cerpen sad ending, jadi kalau ada kurang-kurang harap maklum yaa (entah kenapa, aku ngerasa kalau paragraf awal - awal itu rada alay ya ?) *bow down* ditunggu komen dan sarannya :)

*btw, Bouillabaisse part 3nya masih on progress :)

Senin, 30 April 2012

Bouillabaisse part 2 :)

Xara duduk termenung menatap iPhonenya yang sedang menayangkan MV Carly Rae Jepsen – Call me maybe. Ia sudah menyetel lagu ini puluhan kali, dan ini adalah kali pertama ia melamun saat mendengarkan lagu itu. Biasanya ia akan menggerakkan kakinya, jarinya, kepalanya begitu mendengar lagu ini dimainkan.
Tep!
Xara merasa ada seseorang yang menepuk pundaknya. Ia menoleh dan mendapati Elizabeth Dubois tersenyum lebar padanya. Ia menarik dan menduduki kursi didepan Xara. “Tidak biasanya kau datang jam segini.” Sindir Eliz. “Memangnya tidak boleh ?”Xara melepas Headphonenya dan menatap Eliz. Eliz menggeleng, “Tidak. Kalau kau datang pagi, reputasiku sebagai ‘waitress of the month’ akan tersingkir.” Xara ikut tertawa mendengar lelucon sahabatnya itu, mengingat tidak ada ajang seperti waitress of the month di L’ambrosie. “Lagu apa ?” Tanya Eliz sambil menunjuk iPhone yang dari tadi dipegang Xara. Xara baru akan menjawab, ketika mendengar namanya dipanggil oleh seseorang. Ia menoleh menatap jendela dan mendapati …
Sebastien.
Lelaki itu tersenyum dari seberang jalan dan mengatakan sesuatu padanya tanpa suara.
Melihat barang – barang bawaannya, Xara mengerti apa yang harus ia lakukan.
Ia beranjak dari kursi, meninggalkan Eliz yang terlihat masih menunggu jawabannya, tepat ketika Sebastien menyeberang jalan. Ia membuka pintu masuk, dan dengan setengah terengah Sebastien berlari menaruh belanjaannya di samping pintu itu.
“Merci” Ucap Sebastien sesaat sebelum ia mendaratkan kantung – kantung plastiknya di tanah.
“Kau bawa apa saja ? Banyak sekali.” Xara mengamati kantung-kantung plastik itu satu persatu. Sebastien mendongak kearah Xara sejenak, “Bahan untuk hari ini,” Ia kembali melanjutkan menata belanjaannya, “Bibi Macy tidak bisa datang hari ini.” Ia menggotong belanjaannya, hendak melangkah ke dapur.
“Oh.” Bibi Macy adalah wanita yang ditugaskan untuk menyiapkan bahan-bahan untuk para koki, sekaligus merangkap manager di resto ini.
“Xara,” Eliz menarik tangan sahabatnya itu, “Sejak kapan kau dan dia seakur ini ?” Bisiknya pelan. “Kenapa ? Kau juga yang dulu menyuruhku untuk tidak memandangnya sebagai ..   Peter, kan ?” Xara bisa merasakan tenggorokannya berat saat akan mengucapkan nama lelaki itu. Gosh…
“Yah, memang. Tapi… ” Eliz menggigit bibirnya seperti sedang mencoba untuk mengucapkan sesuatu, “Kau sebaiknya jangan dekat-dekat dengan dia.”


Callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com


Sebastien melangkahkan kakinya keluar ruangan. Sudah hampir jam 3. Saatnya istirahat makan siang. Ia berniat mengajak Xara dan Eliz makan bersama . Tentu jika mereka tidak keberatan. Karena baginya, makan siang sendirian sangat tidak menyenangkan. Ia melirik mengamati ruangan yang biasa mereka kunjungi saat istirahat makan siang. Kosong. “Kemana mereka ?” Pikir Sebastien kesal. Sebenarnya, tadi, Sebastien sudah diajak untuk makan siang bersama oleh Anthony dan segerombolan Chef lainnya, namun ia menolak. Karena … Yah, ia ingin makan siang dengan gadis itu. Ia ingin makan siang dengan Xara.
Dan sekarang ia menyesali keputusannya itu. Ia tadi seharusnya menerima tawaran Anthony.

Gang kecil itu tampak ramai. Ia bisa maklum, karena memang hanya Resto di gang ini yang tetap buka saat jam makan siang pegawai. Sebastien berjalan menyusuri deretan Café yang dipenuhi pengunjung itu sendirian. Dan diantara mereka ia melihat … “Xara ?”


Callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com


Xara menjejakkan kakinya dengan kesal beberapa menit setelah Eliz meninggalkan dia demi menemani Edbert—kekasihnya—makan siang. Ia tahu, kalau tadi ia ikut bersama Eliz, ia pasti juga akan jadi ‘obat nyamuk’ disana. Tapi kan … “Ah, sudahlah!” Xara mengomeli dirinya sendiri. Ia memandang sekelilingnya, dan mendapati lelaki dengan rambut coklat sedang melambai-lambaikan kedua tangan ke arahnya.
Xara tidak dapat menahan dirinya untuk tersenyum. Tidak, tidak. Bukan karena ia mulai tertarik kepada lelaki itu, hanya karena caranya melambai-lambaikan tangan terlihat lucu. Ia tersenyum karena cara Sebastien melambaikan tangan, tidak ada alasan lain.
“Temani aku makan,” pinta Sebastien tepat saat Xara berada 15 senti di depannya. Ia menarik lengan Xara, tanpa menunggu jawaban gadis itu. Xara berpikir untuk melepaskan lengannya dari genggaman Sebastien, namun ia mengurungkan niatnya. Ia mensugesti dirinya sendiri, Ia menarik lenganku hanya sebagai teman bukan ?
Mereka terhenti di sebuah resto klasik bernuansa romawi. Di setiap sudut-sudut ruangan selalu tampak hiasan berupa patung-patung wanita dan prajurit. Xara mengamati sekeliling ruangan itu, hampir semua tempat duduk penuh. Namun entah mengapa, ruangan terasa sepi. Hanya musik yang dapat didengar Xara, tidak ada suara bercanda, bercakap-cakap dan semacamnya. Semua pengunjung di tempat itu seperti sedang menikmati sesuatu.  Xara juga merasa ada yang aneh dengan arsitektur resto ini. Semua tempat duduk seperti dirancang untuk selalu menghadap jendela. Secara tidak sengaja pandangan Xara terlempar kearah jendela besar itu. Mulutnya ternganga …
“Kau boleh bilang ‘wow’ nanti,” Sebastien menyeret kursi Xara, baru kemudian duduk di kursinya. Xara duduk dengan perlahan, pandangan matanya tidak dapat lepas dari apa yang ada di balik jendela itu.  Semua itu terlalu mempesona.
Jendela itu bagai sebuah kanvas, yang di sisi kanannya dilukis dengan bulatan-bulatan bunga tulip putih dan pepohonan yang kering kerontang di sisi seberangnya. Dua objek menarik itu dipisahkan oleh aliran sungai bewarna hijau jernih. Di antara pohon-pohon tak berdaun itu, terdapat sebuah rumah kecil yang terbuat dari kayu, yang terlihat mencolok disinari cahaya mendung langit.
“Xara, kau mau pesan apa ?” Tanya Sebastien. “A-aku tidak makan. Dompetku ketinggalan” Jawab Xara gugup. Tadi Sebastien berkata hanya untuk menemaninya makan bukan ?
“Setidaknya kau pesan sesuatu. Tenang saja, aku yang traktir.” Sebastien menyodorkan buku menu kepada Xara. Ragu ragu ia membuka sampul coklat tebal itu perlahan, dan membaca isinya. Ia terperanjat melihat angka angka yang tertera disana, “Aku tidak lapar.” Xara menutup buku menu itu dan menyerahkannya ke Sebastien. Sebastien menatapnya untuk sesaat, “Kau yakin?”
Xara mengangguk. Lagipula ia ingin untuk lebih menikmati pemandangan di depannya. Entah kenapa, dengan melihat bunga tulip, pohon pohon kering, serta cuaca mendung membuat hatinya lebih … damai. Tidak ada hening yang merayapi mereka selama menunggu pesanan datang, Bahkan sampai pesanan Sebastien datang. Xara merasa Sebastien adalah teman mengobrol yang menyenangkan. Ia dapat dengan leluasa bercanda, mengemukakan pendapatnya, tertawa sekeras-kerasnya … Dan  Oh, oh, pernah suatu kali mereka tertawa terlalu keras, sangat keras sampai hampir seluruh pengunjung di resto itu menatap kearah mereka. Ia tidak tahu mengapa dulu ia bisa menyamakan Sebastien dengan Peter ...


Callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com


Xara melirik jam tangannya, sudah jam 6, saatnya pergantian shift. “Akhirnya,” batin Xara. Dengan cepat, ia berjalan menuju locker room. Xara takut, jika lebih lama dari ini, perutnya yang mulai meronta kelaparan ini akan menimbulkan masalah baginya. Misalnya saja dari yang terburuk : pingsan. Mungkin ia sudah bersikap bodoh dengan menolak Sebastien mentraktirnya pada saat makan siang tadi. Ia meraih tas ranselnya dan melihat kotak plastik—seperti kotak bekal— di sudut sisi lokernya. Ia mengambil kotak plastik itu dan membaca memo di atasnya.

Aku tahu kau lapar, Xara. Jangan menyangkal itu. Kuharap kau tidak ada masalah dengan seafood.
Sebastien ‘Imnotpeter’

Sebastien ? Dia yang melakukan semua ini ?
Xara tersenyum tanpa alasan dan segera melahap habis makanan yang dirasakannya sebagai Bouillabaisse itu. Sejenak, ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dan memori akan ucapan Sebastien setelah ia meminta maaf pada saat itu terulang …

‘Kurasa aku tertarik padamu’


Callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com
Callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com    callmemilii.blog.com
To be continued…


Thanks for reading :)
Comment please :D means alot for me C:

Minggu, 15 April 2012

Bouillabaisse :)

PROLOG
Gadis itu membencinya. Itulah anggapan pertama Sebastien ketika melihat Xara. Bibirnya selalu mengatup saat mereka berbicara. Tidak pernah tersenyum walaupun Sebastien sedang menceritakan lelucon padanya. Xara juga selalu menatap tajam ke arahnya, membuat Sebastien selalu berpikir 5 kali akan apa yang sedang ia perbuat.


Callmemilii.blog.com  callmemilii.blog.com  callmemilii.blog.com






Pagi itu pagi yang indah bagi Xara. Cuaca mendung dan berangin menyejukkan hatinya. Ia melangkah masuk dan tersenyum lebar, “Bonjour” sapanya kepada Elizabeth. Elizabeth menoleh dan tersenyum, “Hai, kau mau ?” tanyanya sambil menyodorkan sebungkus plastik potato chips. “Tidak, tidak. Bukannya kau tahu kalau aku sedang diet ? Ah, ngomong ngomong, dia sudah datang ?” Tanya Xara hati hati. Elizabeth memutar kepalanya, “Tuh,” Xara melongokkan kepalanya untuk melihat apa yang dilihat Elizabeth. Ia menyadari sosok itu. Sebastien sedang sibuk mengaduk-aduk baskom berisi cairan kental sambil sesekali melihat tulisan di sebelahnya. “Dia sedang belajar resep baru.” Jelas Eliz tanpa ditanya. Xara hanya mangut-mangut  mendengar penjelasan Eliz. Sejenak perasaan bahagia yang dirasakannya beberapa menit yang lalu lenyap. Xara tidak ingin bertemu dengan dia. Xara tidak ingin bertemu dengan Sebastien. Terlambat. Sebastien sudah menyadari keberadaannya. Ia tersenyum kepada Xara—entah terpaksa atau tidak—“Xara, kau sudah datang ?” Xara menarik nafas dalam dalam, “Kalau aku belum datang, lalu yang kau lihat ini siapa ?” balas Xara tanpa ada unsur candaan sama sekali di setiap kata-katanya. Sebastien tertawa, “Iya, iya, aku minta maaf sudah menanyakan pertanyaan semacam itu” Xara mengabaikan jawaban Sebastien. Ia berjalan menuju locker room dan meletakkan tas punggungnya di sana. Begitu ia kembali, ia melihat wanita dan pria duduk di meja dan melihat-lihat menu di atas meja mereka. Dengan setengah berlari ia menghampiri pasangan muda tersebut. Mendengarkan, mencatat, dan mengulang makanan yang mereka pesan.





Callmemilii.blog.com  callmemilii.blog.com  callmemilii.blog.com









Sebastien mengangkat kedua sudut bibirnya, melihat gadis itu berlari tergopoh-gopoh menghampiri pengunjung. Ia kira hari ini mood Xara sedang bagus, tapi rupanya ia salah.  Kalau mood Xara sedang bagus, seharusnya gadis—paling tidak— tersenyum padanya. Atau membalas ucapannya.
“Pesanan” Xara menggantungkan sebuah kertas kecil dengan penjepit di depan Sebastien. “Oh,” Sebastien membaca tulisan di depannya. 2 Rosella tea dan croissant. Ia melipat lengan bajunya, meletakkan tray berisi adonan di oven, dan menunggu sampai bunyi ting terdengar.



Callmemilii.blog.com  callmemilii.blog.com  callmemilii.blog.com









 “Kau belum pulang ? Bukannya setelah ini ada penggantian shift ?” Tanya Sebastien kepada perempuan didepannya. Xara menatap Sebastien sekilas dan kembali melanjutkan mengobrak-abrik tasnya.  “Dompetku hilang” gumamnya tanpa menoleh Sebastien. Sebastien menatap perempuan itu lekat-lekat, “Mau kubantu ?” Xara sejenak berhenti dari aktivitas mengobrak-abriknya, “Terserah kau.” Ia menatap tangan Sebastien dan menunjuk kearah kotak plastik yang dipegangya, “Apa itu ?” Sebastien meletakkan mangkuk plastik itu di bangku sebelahnya, “Bouillabasse, kau mau ?” Tanya Sebastien menawarkan. Mendengar Xara tidak menjawab pertanyaannya, ia meneruskan mencari dompet Xara.  Xara terdiam memandangnya untuk beberapa saat, baru kemudian berjongkok dan menyingkirkan segala sesuatu yang ada di hadapannya. Sebastien menelusuri jalan yang tadi dilewatinya. Menyapu setiap sudut ruangan. Pandangannya terhenti begitu melihat benda cokelat bergaris garis hitam dan merah tergeletak di depannya. Ia membuka dompet itu untuk memastikan dompet itu milik Xara. Matanya terbelalak melihat  foto yang terpampang disana. Dua sosok yang ia yakini sebagai Xara dan—mungkin—pacarnya tersenyum lebar menghadap kamera. Lelaki itu merangkul pundak Xara, dan seumur hidup Sebastien bekerja di L’ambrosie ia tidak pernah melihat Xara sebahagia itu. Bahkan ketika ia sedang bersama Eliz. “Kau sudah menemukannya ? Dompetku ?” Mendengar suara Xara dibelakangnya, spontan Sebastien berbalik dan menjatuhkan dompet yang ia pegang. Xara menatap Sebastien curiga, ia maju selangkah dan mengambil dompetnya, membuka isinya, dan bertanya dengan nada menyelidik, “Kau melihat isinya?” Sebastien menelan ludah. Ia benar-benar bingung akan apa yang harus ia katakana saat itu. Dan akhirnya, “Maafkan aku,” Ia mendongak menatap Xara, “Awalnya aku hanya ingin memeriksa apakah itu dompetmu atau bukan.. dan aku tidak sengaja melihat fotomu disana.” Sunyi merayapi mereka berdua. Sebastien merasa sudah menjelaskan semuanya, dan ia melakukan hal yang benar. Ia sudah siap apabila Xara Eloise akan marah padanya, membanting meja, atau bahkan menghabisinya ditempat.
Namun kenyataan berkata sebaliknya, Xara hanya diam dan menatap Sebastien sampai seorang pekerja shift malam datang dan mengambil alih tugasnya.




Callmemilii.blog.com  callmemilii.blog.com  callmemilii.blog.com







Mungkin kenyataan tidak sepenuhnya berbeda, hari ini Xara menjadi lebih pendiam kepada siapa saja. Si-a-pa-sa-ja. Kepada Eliz, kepada Mabel, dan—tentu saja—kepadanya. Mungkin Sebastien telah melanggar privasi gadis itu kemarin. Ia tidak seharusnya membuka dan melihat isi foto dompet itu. Sebastien mengutuki dirinya sendiri.
Baiklah, sepulang kerja nanti, ia akan meminta maaf kepada Xara tentang hal kemarin, Sebastien bertekad dalam hati. Ia melirik Xara yang sedang ‘bercanda tawa’ dengan Eliz walaupun disana terlihat sekali bahwa Xara tidak sedang tertawa.



Callmemilii.blog.com  callmemilii.blog.com  callmemilii.blog.com







Xara meraih tas punggungnya, dan menutup pintu loker. Ia baru akan melangkah ketika menyadari Sebastien sedang berdiri di hadapannya. “Xara,”bisiknya pelan, “Aku benar benar meminta maaf karena sudah melanggar privasimu—jika itu yang kau pikirkan.” Xara bisa melihat Sebastien adalah perayu yang handal, karena seketika waktu itu juga, Xara luluh karena ucapannya. “Kau tidak perlu meminta maaf. Bukan salahmu.” Xara menggeser bahu Sebastien dan pergi meninggalkannya begitu saja.
“Sebenarnya apa salahku ?” Sebastien berbalik, menyambar tangan Xara dan menahannya.
“Kau tidak salah apa- apa.”
“Lalu kenapa kau bersikap sinis padaku ?”
“Aku tidak sinis padamu.”
“Jelas kau sinis padaku, hanya orang buta yang tidak bisa melihatnya.” Ucap Sebastien geram. Ia sudah mencoba bersikap ramah terhadap gadis itu namun rasanya sikap ramahnya itu tidak berarti apa apa bagi Xara.
Dan, Oh ya, kesabaran ada batasnya.
“Kau hanya mirip dengan Peter. Bahkan terkadang aku merasa aku sedang bersamanya ketika menatapmu.”
Peter ? Siapa itu ?
Seakan bisa membaca pikiran Sebastien, “Dia pacarku. Tapi kami sudah putus beberapa bulan yang lalu.” Xara menegaskan
“Kenapa … kau putus ?” Sebastien meragukan pertanyaan ini, ia takut kalau gadis itu akan memusuhinya lagi, menatapnya sinis lagi…
Ternyata tidak.
“Dia mengkhianatiku.” Xara menarik nafas panjang. Aku harus memberitahunya, harus.
“Selingkuh ?”
“Bukan, ehm, lebih seperti… memfitnah.” Xara membasahi bibirnya yang kering, “Dulu dia koki disini, sama sepertimu. Dan entah mengapa, setiap aku melihatmu, aku melihatnya. Mungkin karena kau terlalu mirip dengannya. Konyol memang, tapi yah, begitulah.”
Sebastien menghembuskan nafas lega. Ternyata.. Selama ini Xara selalu melihatnya sebagai Peter, bukan sebagai Sebastien. Dan itu berarti Xara membenci Peter. Bukan Sebastien.
“Dengar Xara,” Sebastien menggenggam erat bahu Xara, “Aku memang tidak tahu pasti tentang hubunganmu dengan Peter tapi yang jelas,  Aku bukan Peter” Sebastien menekankan tiga kata terakhir yang ia ucapkan.
Xara bisa merasakan matanya berair. Ia merasa begitu bodoh karena sudah menyamakan dua pribadi yang jelas jelas  berbeda. Xara bisa melihat dirinya sendiri di pantulan mata Sebastien. Terlihat sangat berantakan. Berantakan dan tolol.
“Aku bukan Peter. Aku tidak akan mengkhianatimu.”
Air mata Xara jatuh saat Sebastien mengucapkan kalimat itu. Ia tahu ia salah, “Maaf, aku…”Xara menghapus air matanya dan memaksa suara keluar dari tenggorokannya, “Aku minta maaf atas sikapku yang bodoh selama ini. Aku egois karena sudah…”
“Kau tidak salah apa apa. Mungkin kau hanya… trauma.” sahut Sebastien memotong kalimat Xara barusan. Ia melingkarkan tangannya di bahu Xara. “Dan jangan salahkan aku, Xara. Kurasa aku mulai tertarik padamu.”



 To be continued.. :)


Comment please :)
 Thanks :D Hope U like it 
Sorry kalo ada typo :(