Xara menelusuri jalan pulang dengan kaki dientak – entakan.
Perasaannya tak menentu. Ia mulai berpikir hal – hal yang tidak biasa. Oh my God… Xara melirik kotak bekal
bekas Bouillabaisse tadi yang dibawanya pulang. Jantungnya berdebar kencang
saat ini dan ada perasaan gelisah disana. Ia menggigit bibirnya, dan sesekali
memukul – mukul pipinya dengan satu tangan. “Bodoh, sadarlah.” Gumamnya.
Ia baru hendak memukuli wajahnya lagi, ketika melihat
seberkas sinar datang dari lampu dim mobil Lexus hitam tipe RX di seberang
jalan. Ia menyipitkan matanya sesaat, dan melihat sekelebat pria keluar dari
mobil itu. Ia menyipitkan matanya lagi, menimbang – nimbang siapa pria itu. Sejujurnya,
dari yang ia lihat sepintas tadi, ia seperti mengenal laki – laki itu. Ia menuruti
nalurinya, kakinya melangkah mengendap –
endap mengikuti pria itu. Pria itu
terhenti di suatu lapangan parkir luas didepan sebuah pabrik yang sudah tak
terpakai. Xara berada di kejauhan mengamati lelaki itu berbincang – bincang
dengan seorang wanita. Ia bersembunyi dibalik tumpukan kardus bekas yang
jaraknya kira – kira 10 meter dari kedua orang itu. Dan seperti yang ia kira,
ia tidak mendengar apa – apa dengan jarak 10 meter. Tetapi ia juga tidak bisa
mendekat. Selain tumpukan kardus itu, tidak ada tempat yang bisa menyembunyikan
dirinya. Hanya ada tanah lapang didepannya.
“Siaal,” umpatnya sambil harap-harap-cemas kedua atau
setidaknya salah satu dari orang itu berbicara lebih keras lagi. Ia benar –
benar tidak bisa mendengar apa – apa.
Oh, tidak, Xara tidak akan pulang dengan tangan kosong. “Kalau
aku tidak bisa mendengar, setidaknya aku bisa melihat.”batin Xara. Ia menunggu
saat yang tepat, sebelum akhirnya mulai melongokkan kepalanya perlahan – lahan.
Tangannya berpegangan erat pada sisi ujung kardus, dan ia mulai menyembulkan
kepalanya sedikit demi sedikit. Sosok pertama yang ia lihat adalah seorang
perempuan. Badannya kurus, tinggi, dan sebagian wajahnya ditutupi oleh syal dan
kacamata hitam. Sedangkan yang lelaki … Hmm … Xara tidak tahu. Lelaki itu
membelakanginya sehingga yang ia bisa lihat hanya punggung dan tingginya saja.
Bahkan rambutnya ditutupi oleh topi wol. Setelah mengamati begitu lama, Xara
menyadari kalau tadi perkiraannya tidak salah. Postur tubuh lelaki ini mirip
dengan Sebastien. Bahkan bisa dibilang sama. Sebastien memiliki bahu yang lebar
dan tinggi kira – kira 6 kaki, yang ia bisa lihat dari lelaki berjaket itu.
Kalau memang benar dia Sebastien, apa yang dia lakukan malam – malam begini di
tempat seperti ini ? Xara mencoba menebak – nebak akan apa yang biasa dilakukan
seorang lelaki pukul setengah sepuluh malam didepan pabrik kosong. Tetapi tidak
ada jawaban positif yang dapat menghilangkan dugaan kuatnya tentang transaksi
gelap—dan yang paling disangkalnya—mafia. Xara menertawakan dirinya sendiri.
Tidak mungkin kan Sebastien berkomplot dengan mafia ? Dan lagi belum tentu juga
laki – laki itu adalah Sebastien … Oh, oh ! Perempuan itu membuka kacamata
hitamnya. Xara memiringkan kepalanya sedikit untuk bisa melihat lebih jelas.
Perempuan itu menangis. Matanya biru, rambutnya ikal berwarna oranye cerah—yang
bisa ia lihat dari poninya, hidungnya mancung dan kulitnya pucat. Terlintas
sebuah nama ketika Xara memikirkan semua kombinasi itu.
Eliz.
Tetapi bedanya, Eliz mempunyai mata Hazel, dan ia cukup
yakin sahabatnya itu tidak memakai contact
lens. Xara menghela nafas panjang. Berbagai dugaan berputar – putar dalam
otaknya. Semuanya menjadi rumit sekarang. Ia melongokkan kepalanya lagi menatap
kedua manusia itu. Mereka seperti membicarakan sesuatu. Atau lebih tepatnya
mendebatkan sesuatu. Sampai suatu
ketika, perempuan itu melingkarkan tangannya ke pundak lelaki itu. Kalau lelaki itu memang Sebastien… Kalau
benar dia Sebastien… Xara terlonjak dari kegiatan mata – matanya dan
bersembunyi di balik kardus – kardus bewarna coklat. Nafasnya sesak memikirkan
kilas balik kejadian tadi. Ia tidak berani berharap ….
Callmemilii.blog.com callmemilii.blog.com callmemilii.blog.com
Burung – burung mengerubunginya dan mematuk kepalanya
sesekali di sela – sela kicauannya. Namun gadis itu bergeming. Ia tetap
menyeret kakinya putus asa, bergesekan dengan aspal jalan. Tubuhnya gontai
seakan tidak ada tulang yang menyangga badannya. Sebastien mengamati gadis itu
lekat – lekat. Terdapat kantung hitam di sekitar matanya. Apa dia tidak tidur ?
Sebastien teringat akan pertandingan sepakbola kemarin malam. Tidak, tidak.
Xara sepertinya bukan tipe wanita yang menggemari sepakbola atau semacamnya.
Sebastien membenarkan letak topinya dan kembali mengekor dibelakang gadis itu. Ia
mengendap – endap, beralih dari tiang lampu satu ke tiang lampu lainnya. Ia
tidak memerdulikan orang – orang disekitarnya yang mulai menatapnya aneh dan
sebagian lagi menatapnya seakan – akan ia orang gila. Sorot matanya berubah
ketika ia melihat Xara akan menyeberang. Gadis itu menatap lurus ke depan tanpa
menunjukkan tanda – tanda akan menoleh barang sedikitpun. Hal itu tentu saja
bukan menjadi masalah bagi Sebastien kalau saja….
Mobil sedan itu tidak sedang melaju kencang ke arahnya.
Matanya membelalak melihat rentetan kejadian itu. Bagaimana
mobil itu menabraknya, bagaimana gadis itu terjatuh dan kepalanya membentur
tanah, bagaimana orang – orang disekitarnya sontak berteriak dan mengerubutinya…
Semua terjadi begitu jelas di depan Sebastien. Terlalu jelas
mungkin. Ia mematung sesaat sebelum seluruh sarafnya menghentak otaknya untuk
berbuat sesuatu.
“Xara!!” Sebastien berlari sekuat tenaga menghampiri gadis
itu. Jantungnya berdetak tak keruan bahkan sebelum ia melangkah. Ia membelah
kerumunan orang yang menjawab sebagian keraguannya tentang ‘apa dia baik – baik
saja’.
Sebastien menatap nanar sosok wanita bersyal hitam yang
tergeletak di aspal jalan. Darah mengucur dari hidung dan mulutnya.
Tidak mungkin.
Callmemilii.blog.com callmemilii.blog.com callmemilii.blog.com
Xara membuka matanya pelan – pelan. Hal pertama yang dilihatnya
adalah kepala teman – temannya yang mengelilinginya, membentuk sebuah lingkaran
dengan . “Kau tidak apa – apa, Xara ?”Tanya Rosalie, mewakili pertanyaan semua
orang. Xara menarik pantatnya, dan terduduk di kursi. Sambil menggosok – gosok
matanya—seakan ia baru bangun tidur—ia bergumam, “Kurasa begitu.”
Seketika semua orang yang ada di ruangan itu menghela nafas
lega. “Tapi, disini.” Xara memegang bagian kanan atas perutnya, “Seperti barusan
ada yang memukuliku.” Xara meringgis kaku. “Kau sudah tidur selama 3 hari, kau
tahu ? Lebih baik kau ceritakan pada kami bagaimana kau bisa menjadi seperti
ini.” Emile—salah satu teman Xara yang diketahuinya paling tidak sabaran—menatap
selang infus yang melekat di tempurung tangannya. Xara memiringkan kepalanya
menghadap sahabatnya itu, “Tahan kicauanmu Emile. Kau mulai membuat kami
takut.”katanya. “Aku juga tidak begitu tahu bagaimana ini bisa terjadi. Saat
itu aku sedang menyeberang jalan, dan hal terakhir yang kulihat adalah tampak
depan mobil sedan, dan bumi seolah berputar. Setelah itu aku tidak ingat apa –
apa lagi.” Jelas Xara.
“Bumi memang berputar, bodoh.” Sahut Pierre, mantan adik
kelasnya dahulu yang sekarang sudah menjadi chef di tempatnya bekerja. “Hei,
kau, bocah ingusan! Seperti itu caramu bicara kepada seniormu yang baru
mengalami kecelakaan ?” Xara meninggikan suaranya beberapa oktaf. Ia selalu
merindukan saat – saat ini. Saat dimana dia bisa melupakan semua masalah yang
ada, bercanda tawa dengan teman – temannya ,dan menjadi dirinya sendiri. Sesaat
Xara bisa melupakan orang itu. Lelaki yang merenggut sebagian besar alasannya
untuk tertawa. “Hé ! Kau
bukan kakak kelas ataupun seniorku lagi, bodoh. Kedudukan kita sama sekarang. Tunggu,
tunggu … mungkin aku lebih tinggi darimu. Bagaimanapun juga aku adalah seorang chef dan kau adalah seorang waitress, ya’kan ?
” Goda Pierre sambil menyunggingkan
senyum kebanggaannya. Xara mendengus mendengar kalimat terakhir Pierre. Anak itu selalu saja menganggap pekerjaan pelayan lebih rendah daripada koki. Ia baru
akan membuka mulut ketika Mabel dan yang lainnya menatapnya penuh arti. “Apa ?”
Ia menatap temannya satu persatu, “Kenapa kalian menatapku seperti itu ?” Tanya
Xara. “Kalau lidah tajam Pierre bisa membuatmu kembali seperti ini, semestinya
dari dulu aku tidak melaranginya berbicara denganmu. Yah, kau tahu sendiri,
Pierre tidak pernah mengucapkan sesuatu yang lembut.” Sahut Cecile. Xara tidak
tahu ia harus menjawab apa, jadi ia hanya mengangguk – angguk tanda mengerti.
Tiba – tiba ia teringat seseorang. Ia mengamati satu persatu
teman – temannya yang ada di situ. Tidak ada. Orang itu tidak ada. Anne yang
menyadari gerak geriknya, bertanya padanya. Namun sepertinya ia salah mengartikan
subyek yang dicari Xara,“Kau mencari Eliz ? Kurasa dia akan datang sebentar
lagi. Dia bilang dia akan menyusul kami kalau shiftnya sudah selesai.” Xara manggut – manggut mendengar
penjelasan Anne. “Sebastien,” Xara menggerak – gerakkan tangannya salah
tingkah, “Dia kemari ?”
Anne tidak dapat menahan senyum melihat tingkah laku Xara
saat menanyakan pria itu, “Ooh, jadi bukan Eliz.” Xara mendelik padanya. “Tadi
dia bilang padaku dia mau mengurus ke kantor polisi soal pengemudi yang menabrakmu.
Aku tidak tahu kapan dia akan datang.” Ucap Anne sambil menahan senyum.
Tepat setelah itu, pintu kamar Xara terbuka cepat. Xara dan
teman – temannya spontan menoleh ke arah pintu yang terbuka, menampilkan sosok
lelaki berjaket abu – abu, “Whoa, kau
sudah sadar ?”
Xara mengangguk cepat, “Ya, begitulah.”Ia memutar otaknya
untuk menanyakan sesuatu, “Bagaimana urusanmu di kantor polisi ? Kau berhasil
menangkap pelakunya ?” Tanya Xara. “Kau harus berterimakasih padanya, bodoh.
Dia yang sudah menggendongmu kemari.” Tegur Pierre, membuat mata Xara melebar.
Xara menatap Sebastien yang tampak terkejut, tidak tahu harus menjawab apa.
“Kalau kau menganggap sikapku tidak sopan, aku minta maaf.” Xara buru – buru
menggeleng, “Sama sekali tidak. Justru aku yang harusnya minta maaf karena
sudah merepotkanmu… Dan, terimakasih sudah me-menggen..membawaku kemari.”
Ucapnya terbata – bata. Dalam hati, ia mensyukuri progam diet yang dilakukannya
beberapa bulan terakhir. Setidaknya, ia tidak terlalu berat saat Sebastien
‘membawa’nya kesini. Suasana dalam ruangan itu mendadak kaku. Xara tidak tahu
apa yang harus ia katakan setelah kejadian itu,dan begitu pula Sebastien.
“Dingin sekali disini.”Sindir Michelle.
“Dingin darima..” “Ayo, kita keluar.” Michelle menyela
kalimat Emile dan menyambar tangan sahabat – sahabatnya dan menarik mereka
keluar. Ia terhenti sebentar di perbatasan pintu, mengedipkan sebelah mata
hijau yang selalu dikagumi Xara. Xara membelalak melihat kedipan sahabatnya
itu, kemudian menoleh kearah Sebastien, memastikan lelaki itu tidak melihat kerjapan
penuh makna tadi. Sebastien sendiri tampak sibuk dengan iPhonenya yang berdering 3 detik yang lalu. Xara memperhatikan raut
wajah Sebastien lama. Lelaki itu memiliki sepasang mata almond, dengan alis
tebal yang berjarak 1 senti dari matanya. Hidungnya mancung dan ujung hidungnya
tinggi. Ia memiliki hampir semua ciri pria idaman Xara. Sayangnya, Sebastien
tidak memiliki jenggot. Xara selalu mengidam – idamkan lelaki berjenggot tiga
hari yang menurutnya sangat maskulin.
“Maaf,” Ucap Sebastien sambil memasukan ponselnya ke saku.
Xara tersadar dari lamunannya dan buru – buru mengalihkan pandangan saat
matanya bertemu dengan mata Sebastien, “Tidak apa – apa.” Jawabnya singkat.
“Umm ..” Sebastien mengintip bagian bawah ranjang rumah sakit Xara, “Kau sudah
makan ?” Xara menggelengkan kepalanya, “Mungkin sebentar lagi petugas rumah
sakit akan mengantar makananku.” Ia melirik jam dinding di atas pintu. 11.54.
“Biasanya perawat mengantar makananku jam 12 siang” jelasnya.
“Percayalah, kau tidak akan suka makanan di rumah sakit
ini.”Sebastien menegok kanan kirinya, memastikan tidak ada staff rumah sakit
ataupun perawat disekelilingnya. Ia kemudian merogoh kotak bento di bawah ranjang Xara dan membukanya, “Aku harap kau suka.”
Xara menatap kagum bola – bola nasi yang dibungkus dengan
selembar nori dengan begitu rapi, “Masakan jepang ? Tidak biasanya.” Ujarnya
heran. Xara menjumput telur dadar dan memasukannya ke mulutnya, ia mengunyahnya
lambat seakan menyadari sesuatu dan bergumam, “Terbuat dari apa sih tanganmu ?”
Ia menarik tangan Sebastien dan membolak – baliknya seperti membolak – balik pakaian.
“Memasak kan bukan hanya pakai tangan,” kata Sebastien, “Mungkin kau juga mau
membolak – balik lidahku ?”
Xara tertawa begitu mendengar candaan Sebastien, “Tidak
akan.” Xara menyilangkan tangannya di depan dada dan mengucapkan kata ‘NO WAY’
panjang tanpa suara.
“Sebenarnya kenapa kau memilih bekerja di L’ambrosie ?
Kenapa tidak di ‘Gourmet King’ atau restoran – restoran bintang lima yang lain
?” Tanya Xara sambil menyuapkan salmon ke dalam mulutnya.
“Kenapa ? Kau tidak suka aku disini ?” Tanya Sebastien.
“Bu-bukan begitu.”Jawabnya cepat. Terlalu cepat sampai –
sampai ia tersedak karena salmon yang barusan ditelannya masih menyangkut di
tenggorokan. Ia mengangkat telapak tangannya—mengisyaratkan Sebastien untuk
menunggu— dan segera meneguk gelas air di hadapannya.“Maksudku, dengan
kemampuan seperti itu, kau pasti dengan mudah diterima disana. Bayarannya juga
pasti lebih besar.” Kata Xara setelah itu, “Kau sendiri tahu kan, L’ambrosie
hanya restoran bintang empat. Yah, walaupun lumayan terkenal tapi kan…”
“Aku bekerja disini karena ada seseorang.”sela Sebastien.
Tatapannya menerawang. “Kukira aku sudah bisa lepas darinya… tapi ternyata
belum.” Ia memaksakan dirinya untuk tertawa. Tetapi itu lebih terdengar seperti
ringikan di telinga Xara.
“Kalau boleh tahu, sia…” “Jam 1 ! Maaf Xara, aku harus
pergi. Jaga kesehatan. Perhatikan jalan kalau kau mau menyeberang! Aku pergi
dulu. Adieu !bye” Sebastien mengucapkannya sambil berjalan mundur
dan diakhiri dengan bunyi pintu tertutup.
Xara benar – benar terlihat seperti orang bodoh sekarang. Ia
terduduk sambil mengangkat tangannya dengan mulut yang masih terbuka lebar. Ia
menarik nafas dalam – dalam dan berusaha untuk tidak terlihat peduli dengan apa
yang terjadi barusan.
Xara tahu Sebastien Michel berusaha mengelak darinya.
“Xara, kau sudah bangun ?”
Xara menoleh kearah pintu, ia tahu siapa pemilik suara ini.
Suara bernada rendah dan lembut, siapa lagi kalau bukan …
“Eliz ! Kemana saja kau selama ini !?” Sambut Xara sambil
tersenyum lebar. Senyumnya tergantikan begitu ia melihat sahabatnya yang
bersusah payah membuka pintu dengan punggungnya. Ia bermaksud membantunya,
kalau saja kondisinya tidak selemah ini.
“Aku bawakan kau buah – buahan.” Kata Eliz setelah ia
berhasil masuk. Ia menaruh sekeranjang penuh buah di meja sebelah tempat tidur
Xara. “Kira – kira sedikit kalau kau mau bawa sesuatu.” Gerutu Xara begitu
melihat meja kecil itu hampir oleng begitu Eliz menapakkan keranjangnya. “Maaf,
maaf,” sahut Eliz sambil tertawa bersalah. Xara menatap Eliz sejenak dan ada
sesuatu yang tidak biasanya dari gadis itu. “Matamu ? Biru ? Kau pakai contact lens ?” Tangannya menunjuk kearah
mata Eliz.
Eliz terkekeh pelan, “Biru adalah warna mata asliku. Kau
kaget, ya ?”
Xara merasa ada bola beton meninju hatinya, tepat di ulu hatinya. Bagaimana
mungkin…
“Selama ini aku pakai soft lens warna Hazel, kau tidak
menyadarinya ?” Lanjut Eliz lagi. Ia sama sekali tidak menyadari perubahan
ekspresi Xara.
Xara sendiri terdiam sambil menggenggam selimutnya erat –
erat. Ia tidak bisa tersenyum. Tetapi juga tidak bisa menangis .Eliz
Dubois sedang apa dihadapannya. Dinginnya hawa rumah sakit kini mulai meresap
dalam kulitnya. Pikirannya dihiasi tanda tanya. Semua ini karena ia menuruti
rasa keingintahuannya membuntuti orang itu.
Semua ini karena perasaannya.
to be continued ...
Callmemilii.blog.com callmemilii.blog.com callmemilii.blog.com
Thanks for reading :)
sori buat yang nunggunya kelamaan m.____.m
Comment please :) means a lot for me :D